BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 07 Agustus 2010

Tanah Warisan (Jilid 2)


Orang berkumis lebat itu turun di sebuah halaman yang bersih dari sebuah rumah yang bagus. Beberapa orang kawannya pun turun pula sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.

“Jangan sembunyi,” teriaknya.

Tetapi pintu rumah itu masih tertutup rapat.

“Buka pintunya,” ia berteriak lagi. “Kalau tidak, aku bakar rumah ini. Cepat.”

Perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Seorang laki-laki tua menjengukkan kepalanya dengan tangan gemetar. “Ha, kau ada di rumah. Jangan mencoba bersembunyi ya?”

“Tidak,” jawabnya dengan suara yang bergetar aku tidak bersembunyi.”

“Tetapi kau tidak mau membuka pintu rumah ini.”

“Aku berada dibelakang.”

“Jangan banyak bicara. Sekarang serahkan permintaanku sebulan yang lalu.”

Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar.

“Ayo jangan banyak tingkah.”

“Tetapi, tetapi,” suaranya tergagap. “Aku sudah menyerahkan pajak itu kepada Ki Demang yang akan membawanya ke Pajang bersama upeti yang lain.”

“Aku tidak bertanya tentang upeti. Kau jangan mengigau lagi tentang Pajang, Demak atau kerajaan iblis sekalipun. Dengar. Sekarang sengketa antara Pajang dan Mataram menjadi semakin tajam. Kedua pasukan berhadapan di daerah Prambanan. Mereka tidak akan sempat mengurus pajak dan upeti. Karena itu, maka tugas mereka itu pun telah kami ambil alih. Kalian tidak usah menyerahkan apapun lagi kepada Ki Demang, sebab ia tidak akan menyerahkannya kepada Sultan Hadiwijaya yang sedang sibuk berkelahi melawan puteranya sendiri itu. Yang berperang biarlah berperang. Aku ingin melakukan tugas-tugas yang lain. Misalnya memungut pajak.”

Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Kini orang berkumis itu telah berdiri didepannya. Ketika sekali tangannya disentakkan kemuka, orang tua itu terpelanting keluar.

“Berlakulah agak sopan sedikit menerima tamu,” berkata orang berkumis itu.

Tertatih-tatih orang tua itu mencoba berdiri. Kemudian katanya, “Tetapi, tetapi, semuanya telah terlanjur aku serahkan kepada Ki Demang.”

Namun belum selesai ia berkata, tangan orang berkumis itu telah menarik leher bajunya.

“Apa kau bilang? Bukankah sebulan yang lalu aku telah berkata kepadamu, bahwa kau harus menyerahkannya kepadaku, kepada kami? Kepada Panembahan Sekar Jagat?”

“Tetapi, tetapi....... suaranya terputus ketika sebuah pukulan menyentuh pipinya yang telah berkerut. “Ampun, ampun,” teriaknya sambil tertatih-tatih. Sejenak kemudian laki-laki tua itu terbanting jatuh terlentang.

“Berikan kepadaku seperti permintaanku. Kalau tidak, maka aku mengambilnya sendiri ke dalam rumahmu. Ingat, aku adalah Wanda Geni, utusan terpercaya Panembahan Sekar Jagat mengerti?”

Orang tua itu kini telah mengigil. Matanya dibayangi oleh perasaan takut tiada terhingga.

“Cepat,” teriak orang yang menamakan dirinya Wanda Geni.

“Tetapi..........,” sekali lagi suaranya terpotong. Kini bukan saja ujung parang orang berkumis itu telah menyentuh dadanya. “Apakah kau masih akan berkeberatan.”

Orang tua itu tidak dapat ingkar lagi. Kepalanya kemudian tertunduk lesu. Dengan suara gemetar ia menjawab. “Baiklah, aku akan menyerahkan apa yang masih ada padaku.”

“Bagus. Cepat. Aku masih banyak pekerjaan. Hari ini aku harus memasuki sepuluh pintu rumah.”

Orang tua yang malang itu kemudian menyeret kakinya yang lemah masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Wanda Geni. Beberapa orang kawannya tersebar dihalaman dengan senjata masing-masing siap ditangan mereka. Betapa pun beratnya, orang tua itu terpaksa menyerahkan sebuah pendok emas yang selama ini disimpannya baik-baik. Tetapi ia masih lebih sayang kepada umurnya yang tinggal sedikit daripada kepada pendok emas itu.

“Ini adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga,” berkata orang tua itu.

Wanda Geni tertawa. Suaranya berkepanjangan seolah-olah menelusur atas. Katanya, “Kau sangka aku dapat mempercayaimu? Kau sangka aku tidak tahu bahwa kau menyimpan pula pendok emas yang lain, yang justru kau tretes dengan intan dan berlian. Kemudian sebuah timang emas bermata berlian pula? Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau telah berhasil memeras orang-orang melarat disekitar ini dengan segala macam cara? Huh, jangan mencoba membohongi aku. Kau tahu, bahwa orang-orangku sebagian adalah orang-orang Kademangan ini. Orang-orang yang mengerti betul, apa yang tersimpan disetiap rumah disini.”

Laki-laki itu tidak menjawab. Ia merasa, bahwa lebih baik diam daripada membuat Wanda Geni itu marah.

“Baiklah,” berkata Wanda Geni kemudian. “Aku akan minta diri. Kali ini aku sudah cukup dengan pendok emas ini.”

Tanah Warisan (Jilid 1)


AWAN yang kelabu mengalir dihanyutkan oleh angin yang kencang ke Utara. Segumpal bayangan yang kabur melintas di atas sebuah halaman rumah yang besar. Kemudian kembali sinar matahari memancar seolah-olah menghanguskan tanaman yang liar di atas halaman yang luas itu.

Seorang perempuan tua berjalan tertatih menuruni tangga pendapa rumahnya. Kemudian memungut beberapa batang kayu yang dijemurnya di halaman. Sekali-kali ia menggeliat sambil menekan punggungnya.

Dengan telapak tangannya yang kisut dihapusnya keringat yang menitik di keningnya.

"Hem," perempuan itu berdesah.

"Kalau saja mereka masih ada di rumah ini." perempuan itu kini berdiri tegak. Ditengadahkan wajahnya kelangit, dan dilihatnya matahari yang telah melampaui di atas kepalanya.

Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Keningnya berkerut ketika dilihatnya halaman rumahnya yang menjadi liar karena tidak terpelihara. Rumah besar yang kotor dan rusak. Kandang yang kosong dan lumbung yang hampir roboh.

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia membungkukkan punggungnya, memungut beberapa batang kayu bakar yang dijemurnya di halaman. Ketika perempuan itu melihat seseorang berjalan di lorong depan regol halamannya, maka ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Tetapi orang itu memalingkan wajahnya, dan berjalan semakin cepat.

"Hem," sekali lagi perempuan tua itu berdesah. Di pandanginya orang itu sampai hilang dibalik dinding halaman rumah sebelah. Sejenak kemudian dengan langkah yang berat perempuan itu melangkah masuk ke rumahnya yang kotor dan rusak, langsung pergi ke dapur.

Perlahan-lahan ia berjongkok di depan perapian. Sebuah belanga berisi air terpanggang di atas api. Satu-satu dimasukannya batang-batang kayu bakar yang kering ke dalam lidah api yang menjilat-jilat. "Kalau anak-anak itu ada di rumah," sekali lagi ia berdesah. Seleret kenangan meloncat ke masa lampaunya. Kepada anak-anaknya. Dua orang anak laki-laki. Tetapi keduanya tidak ada disampingnya. Tetapi perempuan tua itu mencoba menerima nasibnya dengan tabah. Kesulitan demi kesulitan, penderitaan demi penderitaan lahir dan batin telah dilampauinya. Namun seolah-olah seperti sumber air yang tidak kering-keringnya. Terus menerus datang silih berganti.

"Hukuman yang tidak ada habisnya," desahnya. Namun kemudian ia mencoba menempatkan dirinya untuk menerima segalanya dengan ikhlas.

"Semua adalah akibat dari kesalahanku sendiri."

Perempuan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar langkah beberapa orang berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Perlahan-lahan ia berdesis. "Apakah mereka datang lagi?"

Ia bangkit berdiri ketika langkah-langkah itu semakin banyak berderap di jalan dimuka regol halaman bahkan ada di antaranya yang meloncat memotong melintasi halaman rumahnya.

"Tidak ada gunanya mereka berlari-lari," gumam perempuan tua itu sambil melangkah ke pintu. Ketika kepalanya menjenguk keluar, dilihatnya beberapa orang yang terakhir melintas di bawah pohon-pohon liar dihalaman rumahnya. Sejenak kemudian perempuan tua itu mendengar derap beberapa ekor kuda mendatang. Semakin lama semakin dekat.

"Mereka benar-benar datang," desisnya. Dan perempuan itu benar-benar melihat orang berkuda melintas cepat di jalan di muka rumahnya. Cepat-cepat perempuan tua itu menutup pintu rumahnya. Sambil menahan nafasnya ia bergumam.

"Apalagi yang akan mereka lakukan di kademangan ini?" Dan ia tidak berani membayangkan, apa saja yang telah dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.

Sementara itu, orang-orang berkuda itupun telah memasuki beberapa buah rumah sambil berteriak-teriak kasar. Seorang yang berkumis lebat dengan sebuah parang di tangan berteriak-teriak.

"Ayo serahkan permintaanku sebulan yang lalu."

Jumat, 16 Juli 2010

Trio Penyamar`3 Detektif (Part 2)

BAB II
DIFITNAH!
"Menurut saya jelas sekali si pencuri berusaha memfitnah kami," Jupiter berkata tenang.
"Sepertinya memang demikian," jawab Chief Reynolds. "Tetap saja, meskipun aku tidak
suka melakukan ini, aku harus menanyai kalian, Anak-anak, tentang di mana kalian berada
sekitar pukul sembilan tadi malam," Chief mengeluarkan pen dan buku catatan kecil.
Bob dan Pete menatap Jupiter. Mereka semua tahu bahwa pukul sembilan semalam
mereka sedang mengadakan rapat rahasia di dalam markas mereka. Markas adalah sebuah
karavan sepanjang sepuluh meter yang dibeli Titus Jones dengan harapan ia akan dapat
menjualnya lagi. Namun karena rangkanya telah rusak parah, karavan itu tidak laku-laku
hingga akhirnya Titus memberikannya kepada Jupiter untuk dijadikan tempat pertemuan
dengan teman-temannya. Perlahan-lahan selama beberapa bulan anak-anak itu
menumpukkan barang-barang rongsokan di sekitarnya dan kini karavan itu tersembunyi --
dan terlupakan -- kecuali oleh mereka.
"Kami bertiga ada di pangkalan barang bekas ini, mengadakan rapat pada pukul sembilan
tadi malam, Chief," jawab Jupiter tanpa ragu-ragu.
"Ada yang bisa membuktikannya?"
Sebagai pemimpin Trio Detektif yang penuh percaya diri dan kadang-kadang sombong,
Jupiter Jones tidak mudah bingung. Kini ia tergagap dalam menjawab.
"Eh ... tidak. Saya ... saya rasa tidak ada, sir."
Koleksi Kang Zusi
Chief Reynolds menepuk bahu Jupiter dan tersenyum. "Jangan khawatir, Nak. Kalian telah
terbukti sebagai asisten polisi yang hebat. Meskipun kalian berbalik menjadi penjahat, kalian
tidak akan begitu ceroboh."
Jupe, Pete, dan Bob berusaha tersenyum terhadap pujian itu.
"Nah, Anak-anak, sekarang aku harus mengembalikan kartu nama ini ke laboratorium
untuk pemeriksaan sidik jari. Akan kukabari kalian setelah hasilnya keluar." Setelah berkata
demikian, Chief Reynolds masuk ke mobil patrolinya. Ia memberi hormat dengan ramah
sembari memundurkan mobilnya keluar dari pangkalan barang bekas. Anak-anak
melambaikan tangan dan berdiri dengan muram, memandangi mobil Chief Reynolds
menjauh.
Begitu mobil Chief Reynolds menghilang dari pandangan, sebuah mobil sport berwarna
biru mengkilap berhenti dengan mendadak di depan gerbang, menyebabkan debu dan tanah
beterbangan di udara yang panas.
"Skinny Norris!" ujar Pete geram. "Bukan waktu yang tepat untuk kekonyolannya!"
E. Skinner Norris berusia sedikit lebih tua daripada anak-anak itu. Karena ayahnya secara
resmi bertempat tinggal di suatu negara bagian lain yang dapat dikatakan mengizinkan bayi
untuk mengemudi, Skinny dapat menyetir mobil -- sesuatu yang amat ditonjolkannya kepada
semua anak di Rocky Beach. Namun demikian, meskipun Skinny memiliki mobilnya sendiri,
yang sangat disukainya selama tinggal di Rocky Beach selama musim panas adalah mencari
tahu apa yang dilakukan Jupiter, Pete, dan Bob, dan berusaha mengganggu mereka. Ia
selalu berusaha mengalahkan Jupe dan selalu gagal. Kini ia melompat keluar dari mobilnya
dan menghampiri Trio Detektif.
"Pergi, Skinny!" tukas Bob.
"Diam kau!" Skinny menyeringai seperti seekor kucing yang baru saja menangkap seekor
burung kenari. "Jupiter McSherlock, sepertinya Anda sedang bermasalah sekarang."
Beberapa orang gerombolan Skinny yang berada di jok belakang mobil tertawa dan Skinny
mengikik seperti seekor kuda.
Jupe menampilkan muka terkejut. "Aku tak tahu apa maksudmu, Skinny," katanya polos,
mengangkat bahu.
"Yang benar saja!" tukas Skinny, "Semua orang di kota ini tahu kalian yang
melakukannya! Mereka menemukan kartu nama kalian di lokasi kejahatan!" Skinny mencibir.
"Suatu informasi yang menarik, Skinny," kata Jupiter, mengedipkan mata kepada Bob
dan Pete. "Mengingat fakta bahwa hanya Mrs. Henderson dan polisi yang tahu detail
terjadinya kejahatan itu, mungkin ada baiknya kau memberi tahu kami bagaimana kau tahu
kartu nama kami ditemukan di tempat kejadian."
Muka Skinny memerah. "Kau kira kau begitu pintarnya, Gendut! Lihat saja nanti!" Ia
mengacungkan jarinya yang kurus ke arah Jupe. "Sebelum hari ini berakhir, kalian bertiga
akan menjadi bahan tertawaan di seluruh Rocky Beach!" Skinny melompat masuk ke
mobilnya dan mundur, meninggalkan kepulan debu. Sambil tertawa dan menjulurkan
lidahnya ke arah anak-anak, ia memacu mobilnya.
Ketika debu telah mereda, Bob menyuarakan pertanyaan yang ada di pikiran mereka
bertiga.
"Bagaimana Skinny bisa tahu tentang kartu nama kita, Jupe?"
Jupiter mengerutkan kening. "Aku tidak yakin namun sepertinya mulut besarnya memberi
implikasi bahwa dialah yang ada di balik pencurian di Pearl's Bakery. Menurutku sekarang
saatnya Trio Detektif mengadakan rapat darurat!"
*****
Jupiter mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja setengah hangus yang terdapat di dalam
markas. "Rapat dimulai. Karena kita semua tahu tentang kejadian mengejutkan yang baru
saja disampaikan kepada kita, mari kita sekarang mulai mendiskusikan para pelaku
potensial."
"Apa katanya?" tanya Pete kepada Bob.
Koleksi Kang Zusi
"Jupe bilang, kita semua tahu apa yang terjadi, maka mari memikirkan siapa yang
mencoba menfitnah kita," kata Bob.
"Oh. Mengapa ia tidak bilang begitu saja?"
Penyelidik pertama yang gempal berdehem dan meletakkan sikunya di atas meja. "Jika
kalian berdua telah selesai berkomedi, kita akan lanjutkan," katanya dengan tidak sabar.
"Skinny Norris telah masuk daftar dengan alasan yang jelas. Bisakah kalian memikirkan kirakira
siapa yang ingin mencemarkan nama baik dan reputasi kita?"
"Wah, Jupe, kita telah menangani begitu banyak kasus ... bisa siapa saja dari seratus
orang!" seru Pete.
"Seratus mungkin agak terlalu berlebihan tapi kita memang telah memperoleh beberapa
musuh," Jupe menghembuskan nafas.
"Mungkinkah Hugenay?" kata Bob bersemangat, "pencuri barang seni dari Prancis yang
kita hadapi dalam Misteri Nuri Gagap dan Misteri Jeritan Jam?"
Jupiter bersandar di kursi putar yang telah diperbaikinya, berkonsentrasi penuh. "Bukan
gayanya," katanya memutuskan. "Selain itu ia sebenarnya membantu kita terakhir kali kita
bertemu. Rasanya tidak mungkin ia jauh-jauh datang kembali ke Rocky Beach hanya untuk
memberi kita masalah. Berikutnya?"
Pete menjentikkan jarinya. "Bagaimana dengan para penjahat yang berusaha mencuri
permata August August, Mata Berapi? Polisi tak pernah menangkap mereka!"
"Hm, jelas suatu kemungkinan," jawab Jupe.
Selama beberapa saat mereka berdiam diri, memikirkan semua kriminal yang pernah
mereka temui selama karir mereka sebagai Trio Detektif. Akhirnya Bob mengangkat tangan
putus asa.
"Oh, kita harus menghadapi kenyataan, teman-teman, daftar ini bisa terus bertambah
panjang!"
"Kau benar, Data. Mari kita lanjutkan," kata Jupiter setuju. "Mengapa seorang penjahat
secara sengaja memilih sebuah toko kue untuk dirampok? Itulah misteri teka-teki
sebenarnya di sini."
"Biar kutambahi!" kata Pete. "Mengapa seseorang mau bersusah payah hanya demi dua
puluh dolar, itulah misteri yang sebenarnya!"
"Awk! Misteri! Awk!" jerit Blackbeard. Blackbeard adalah beo peliharaan mereka yang
mereka dapatkan saat menangani salah satu kasus. Dari sangkar besarnya yang tergantung
di sudut ruangan, burung itu selalu membuat Pete gelisah.
"Diam kau!" seru Pete.
"Jupe, bagaimana kalau kita sudahi saja malam ini?" kata Bob. "Hari ini sungguh
melelahkan dan perutku merasa ini sudah waktunya makan malam."
"Kurasa kau benar, Bob," kata Jupiter menyerah. "Malam ini kita coba pikirkan, siapa saja
yang berusaha memfitnah kita. Besok kau telusuri semua catatan kasus kita, Data. Buatlah
daftar para tersangka yang mungkin, termasuk Skinny, meskipun aku ragu dialah yang kita
cari."
"Baiklah, Jupe," jawab Bob. Remaja bertubuh kecil itu menghilang melalui Lorong Dua,
sebuah tingkap di lantai karavan yang berfungsi sebagai salah satu jalan masuk rahasia ke
markas.
"Dua, besok kau ikuti Skinny dan lihat apa maunya anak itu. Lapor ke markas siangnya."
"Aku harus memotong rumput di rumah tetangga dulu tapi setelah itu akan kuamat-amati
anak itu bagai seekor elang!" kata Pete. "Apa yang akan kau lakukan besok, Pertama?"
"Besok," kata Jupiter dengan dramatis, "Aku ada kencan dengan empat kursi taman yang
sangat berkarat."
Jupiter melambaikan tangan sambil mengunci pangkalan. Ia menyeberang jalan ke rumah
kecil berwarna putih, kediaman Keluarga Jones.
Pete dan Bob bersepeda pulang. Mereka bersama-sama sepanjang sebagian jalan pulang,
membicarakan kejadian mengejutkan hari itu. Ketika matahari musim panas mulai terbenam
Koleksi Kang Zusi
di langit nan ungu, mereka berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Tidak ada yang
menyadari kehadiran sebuah sedan hitam yang telah membuntuti mereka secara diam-diam.

Trio Penyamar`3 Detektif (Part 1)


Bab 1
Tamu Kejutan


"Apa kira-kira yang akan terjadi seandainya dulu aku memutuskan untuk menjadi
seorang kriminal super?" Jupiter Jones berspekulasi.

Pada hari yang panas itu ia dan Pete Crenshaw sedang duduk di keteduhan bengkel
Jupiter yang terletak di luar rumah. Mereka sedang sibuk bekerja dengan tumpukan barang bekas terbaru hasil belian Paman Titus, paman Jupiter.

Pete, penyelidik yang tinggi dan berotot, menjatuhkan obeng yang sedang digunakannya
membuka bagian belakang sebuah jam dinding tua. Ia menatap Jupiter dengan mulut
terbuka.

"Apa katamu?"

"Aku bilang, apa kira-kira yang akan terjadi seandainya dulu aku memutuskan untuk
menjadi seorang kriminal super," ulang Jupiter. "Kau ingat rencana para perampok bank
yang menyewa orang-orang kerdil untuk menyamar sebagai kurcaci? Pemimpin perampok itu menawarkan untuk menjadikan aku anak didiknya dan melatihku menjadi penjahat nomor satu. Aku hanya iseng-iseng berpikir apa yang akan terjadi seandainya waktu itu kuterima tawarannya."

"Kemungkinan besar kau sekarang terkurung di Penjara Los Angeles bersama anggota
gang itu yang lain," kata Pete.

"Hm," gumam Jupiter, "aku ingin tahu."

Anak-anak itu sedang bergembira karena sehari sebelumnya mereka mengetahui bahwa
mereka akan diberi penghargaan oleh Rocky Beach Rotary Club sebagai warga teladan atas jasa-jasa mereka terhadap masyarakat sebagai detektif junior sukarela. Bersama seorang pemenang yang lain mereka akan menerima hadiah sebesar seribu dolar pada suatu acara penghargaan di Balai Kota. Teman mereka, Chief Reynolds, akan bertindak sebagai pembawa acara. Hadiah itu akan mereka bagi tiga, yang berarti masing-masing akan memperoleh hampir seratus enam puluh lima dolar!

"Menurutku seorang penjahat super harus merancang suatu kejahatan super. Sesuatu
yang direncanakan dan dilaksanakan dengan sempurna," kata Jupiter lagi.

"Kau tidak sungguh-sungguh berniat menjadi seorang penjahat kan?!" seru Pete.

"Rasanya sih tidak," Jupiter menyeringai. "Tapi sekali waktu seorang penyelidik yang
bagus harus berpikiran seperti seorang kriminal untuk mengetahui cara mereka berpikir."

"Seandainya aku diberi sepuluh sen setiap kali mendengar kau berkata ...," omongan
Pete terputus dengan kedatangan Bob Andrews, seorang remaja berperawakan kecil dan
berpenampilan seorang kutu buku.

"Hai, Bob. Mengapa begitu lama?"

"Miss Bennett menyuruhku memperbaiki sampul buku-buku tua. Kupikir aku takkan
pernah bisa keluar dari sana." Bob bekerja paruh waktu di Perpustakaan Umum Rocky Beach.

Pekerjaannya itu sungguh berguna dalam melakukan riset-riset untuk kasus-kasus Trio
Detektif.

"Sudahkah kalian memutuskan apa yang hendak kalian lakukan dengan uang hadiah itu?"
Bob bertanya penuh semangat.

"Aku akan menghabiskannya di Magic Mountain!" Pete tertawa.

"Aku akan membeli sepeda baru. Kau, Jupe?"

"Sudah menjadi keputusanku bahwa biro penyelidik kita dapat menginvestasikan
penghargaan finansial itu pada sebuah komputer," jawab Jupiter. "Paling tidak sebagai uang mukanya."

"Saudara-saudara, serahkan saja pada Jupiter Jones untuk bersenang-senang dengan
uang yang demikian banyak!" Pete berkata sinis.

Mereka terus bercakap-cakap dengan antusias tentang apa yang akan mereka lakukan
dengan hadiah itu, sampai terdengar seruan Bibi Mathilda memanggil mereka. Suaranya
bergema di sela-sela tumpukan barang bekas yang sengaja mereka letakkan secara
strategis. Mrs. Jones adalah seorang wanita berbadan besar yang berhati besar pula. Hanya satu yang lebih besar daripada hatinya, kemampuannya menemukan anak-anak malas dan menyuruh mereka bekerja keras. Meskipun Paman Titus yang berburu barang bekas, Bibi Mathildalah yang sesungguhnya menjalankan bisnis barang bekas mereka. Dan kini suaranya menuntut perhatian.

"Jupiter!" serunya. "Di mana lagi kau sekarang? Kau kedatangan tamu. Chief Reynolds
ada di sini mencarimu!" Kemudian ia berpaling untuk melayani seorang pembeli.

Ketiga remaja itu saling berpandangan, terkejut.

"Menurutmu apakah ia lupa memberi tahu sesuatu tentang acara penghargaan itu?"
tanya Bob, melompat turun dari tempatnya duduk di atas mesin cetak.

"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya!" Jupiter bangkit. "Yuk!"

Mereka berjalan zig-zag melalui sela-sela tumpukan barang bekas menuju suatu gerbang
besar, pintu masuk ke Jones Salvage Yard. Chief Reynolds berdiri menunggu di sana di
sebelah mobil patrolinya. Jupiter segera sadar bahwa petugas polisi itu nampak aneh. Merekasudah cukup lama bekerja sama sehingga Jupiter dapat menyimpulkan dari raut muka Chief Reynolds bahwa ia sedang berada dalam stres.

"Halo, Chief. Sepertinya Anda datang untuk urusan pekerjaan dan bukan tentang
penghargaan," kata Jupiter.

"Tepat sekali, Jupiter. Tapi bagaimana kau bisa menebak, aku tak tahu," Chief Reynolds
menjawab dengan alis terangkat. Bob dan Pete menatap Jupiter dengan kebingungan yang sama.

"Saya selalu berusaha untuk tidak menebak jika jawabannya sudah jelas. Ada yang bisa
kami bantu?"

"Begini, Anak-anak," kata Chief, nampak malu-malu, "ada pencurian di Pearl's Bakery
tadi malam ...."

"Dan Anda ingin kami membantu menemukan pencurinya," kata Pete penuh semangat.
Sudah beberapa minggu berlalu sejak kasus terakhir mereka dan mereka tidak sabar
menunggu misteri selanjutnya.

"Sayangnya tidak, Pete," jawab Chief lambat-lambat. "Begini ... kalian bertiga adalah
tersangka utama!"

"APA?!" mereka berseru serempak.

Bibi Mathilda menjatuhkan sapu yang sedang dipegangnya dan bergegas menghampiri.

"Apa maksudnya semua ini, Sam?!" tukasnya. "Kau kenal baik dengan anak-anak ini, kau
seharusnya lebih tahu!" Wanita berbadan besar itu mendengus dan berjalan menuju ke
kantor. "Titus Andronicus, keluar cepat!"

"Tenang, Mathilda," Chief menenangkannya. "Aku yakin ada penjelasan yang masuk
akal."

Sementara Chief Reynolds berusaha meredakan amarah bibi Jupiter, Titus Jones berjalan menuju gerbang utama. Mr. Jones adalah seorang lelaki pendek dengan hidung besar dan kumis yang lebih besar lagi. Matanya berbinar-binar sembari ia mengisap pipa di sela-sela bibirnya. "Ada masalah apa, Sam?" tanyanya tenang.

"Pearl's Bakery dimasuki pencuri semalam," ulang Chief. "Kami tidak punya petunjuk apa-apa ... kecuali ini." Ia menunjukkan selembar kartu nama milik anak-anak itu, tersegel dalam sebuah kantong plastik tempat barang bukti.

"Oh, itu salah satu kartu nama dari klub kalian, Anak-anak!" Mrs. Jones menahan nafas. Mathilda Jones tahu bahwa anak-anak mengadakan rapat secara teratur tapi ia tidak pernah sadar bahwa mereka adalah penyelidik serius yang telah membantu memecahkan beberapa peristiwa kejahatan nyata. Tak peduli berapa kali Jupe memberi tahunya, ia tetap menganggap perusahaan mereka sebuah klub.

Sementara itu Jupiter mengamat-amati kartu di tangan Chief dengan seksama dan mencubiti bibir bawahnya ... suatu tanda bahwa otaknya sedang berputar kencang.

"Boleh saya lihat, sir?" tanyanya.

Chief menyerahkan kantong barang bukti dengan kartu di dalamnya. Jupiter menatapnya selama beberapa menit. Ia membaliknya dan memandang bagian belakang, lalu kembali ke bagian muka. Bob dan Pete mendekat dan ikut memandang melalui bahu Jupiter.

Tulisannya:
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Penyelidik Pertama...........Jupiter Jones
Penyelidik Kedua............Peter Crenshaw
Catatan dan Riset..............Bob Andrews


"Waduh! Ada pencuri menjatuhkan kartu nama kita!" seru Pete.

"Anda bilang ini ditemukan di lokasi kejahatan?" tanya Jupiter sambil mengerutkan
kening.

"Tepat sekali, Jupiter," jawab Chief. "Tepat di sebelah mesin kasir yang kosong. Pearl -- Mrs. Henderson, pemiliknya, baru saja memasang seperangkat sistem pengaman yang canggih dua minggu lalu. Menurutnya ia sering membuat roti sampai larut malam dan harus bekerja sendirian. Tidak mudah bagi seorang pencuri untuk membobol sistem itu. Sekarang Pearl sangat cemas."

"Pencuri itu hanya mengambil uang dari mesin kasir?" tanya Jupiter, agak heran. "Tidak ada lagi yang dicuri atau dirusak?"

"Tidak satupun. Dan inilah yang lucu," Chief nampak tegang. Hari yang panas serasa semakin panas dan Chief melonggarkan dasinya dan membuka kancing kerahnya.

"Menurut Pearl tidak ada peralatan yang dirusak dan bahkan tidak ada satu donat pun yang diambil. Dan ia sangat yakin bahwa di dalam mesin kasir hanya ada dua puluh dolar!"

Rabu, 23 Desember 2009

Langit Penuh Daya (Novel)

Oleh: Dewie Sekar
ISBN : 9789792234473
Rilis : 2008
Tebal : 248 Halaman
Penerbit : Gramedia
Kategori : Novel/Metropop
Harga : Rp 46.000


SINOPSIS
Langit dan Dayana bersahabat sejak remaja. Sejak awal, entah mengapa Daya ingin membuktikan pada dunia bahwa laki-laki dan perempuan bisa bersahabat tanpa "terkontaminasi roman picisan".

Belakangan sikapnya ini jadi bumerang yang melukai hatinya sendiri, sebab perasaannya pada Langit mengikuti embusan angin takdir tanpa bisa dikendalikan? tumbuh menjadi cinta. Toh, Daya nekat menyembunyikan perasaannya dari Langit. Persahabatan mereka tak pernah putus, bahkan juga saat akhirnya Langit menjalin hubungan dengan Dian.

Daya tak pernah menjalin hubungan serius dengan laki-laki lain, sampai Yusa memasuki kehidupannya. Kehadiran arsitek yang bekerja sebagai desainer interior dan taman ini membuat Langit tiba-tiba merasa terancam, hingga ia mulai mempertanyakan, apa yang sesungguhnya dirasakannya pada Daya, si gadis rumah sebelah.


PENULIS
DEWIE SEKAR
Dewie Sekar Hoedion lahir tanggal 23 Maret alias 15 Suro di kaki Gunung Sindoro-Sumbing, saat purnama melayari angkasa dan kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya (sayangnya nggak pakai soundtrack lolongan serigala segala). Gemar membaca buku apa saja (termasuk buku-buku yang membuatnya puyeng dan/atau tak dipercayainya sepatah kata pun) dan jadi termotivasi untuk menulis karenanya. Beberapa cerpennya dimuat di Anita, Ceria, Nova, Femina, dan Chic.

Perempuan yang merasa selalu gagal membuat kerangka-karangan-dan-berusaha-tabah-mematuhinya ini, kini tinggal di Jakarta bersama suami, dua putri, dan segunung mimpi yang sedang diusahakannya agar bisa jadi kenyataan. Prinsip hidupnya: tak ada yang dinamakan "kebetulan" di dunia ini. Menurutnya, segala yang pernah dan akan terjadi di alam semesta pastilah sudah direncanakan dengan mahabijak olehNya, bahkan sampai ke detail terkecil, misalnya tetesan embun yang jatuh dari ujung daun.


Copyright Sweety Qliquers

Impian Moira (Novel)

SINOPSIS
Dalam kehidupannya sehari-hari, remaja nggak pernah bisa pergi terlalu jauh dari yang namanya diary alias buku harian. Di situ tersimpan keseluruhan cerita dan rahasia mereka. Kalau kita bisa mencuri baca buku harian seorang teman, maka kita akan tahu betul seperti apa dia. Dan mencuri baca diary orang lain merupakan suatu aktivitas gelap yang (jujur saja) “dirindukan” semua orang sebagaimana kita pengin mengintip orang mandi atau ganti baju.


Novel teenlit Impian Moira karangan pengarang asal Semarang yang kini bermukim di Jakarta, Dewie Sekar, ngasih kita kesempatan langka itu. Membacanya memberi sensasi seakan-akan kita sedang mengintip baca diary seorang Moira, gadis Jawa dari Yogya yang bertampang bule karena ia peranakan Jawa-Sunda-Amerika tapi tetap merasa dirinya Jawa tulen sehingga lebih leluasa memanggil “kamu-aku” ketimbang “lo-gue”.

Setelah ortunya bercerai gara-gara papanya ketangkap basah selingkuh dengan seorang perempuan cantik bernama Sonya, Moira mengikuti Mommy hengkang dari Kota Gudeg ke Kota Metropolitan Jakarta. Mommy yang mandiri itu diterima sebagai wartawati sebuah majalah dan mengajak Moira tinggal di sebuah kondominium kelas atas. Moira sendiri masuk ke sebuah sekolah swasta elit bernama SMA Pusaka Nusa.

Di situ ia bertemu teman-teman baru yang menarik. Ada Andrea, cewek cacat yang kagum padanya dan selalu menyebutnya “Si Anak Asyik”; ada Surya yang jenius dan mirip Clark Kent; dan terakhir ada Leo, eks gebetan Moira di Jogja yang kebetulan tahu-tahu juga nongol di Pusaka Nusa sebagai sesama murid baru.

Moira lantas berdamai dengan ayahnya. Sayang, kesalahpahaman saat ia dan Papa jalan-jalan ke mal membuatnya dibenci anak-anak sekelas karena dianggap cewek penjual cinta ke om-om. Hal mana juga menyebabkan rating-nya di mata Leo ngedrop ke titik nadir.

Namun Moira menemukan pelampiasan semua permasalahan hidupnya selama ini pada tugas sekolah yang sangat eksotis dan membuatnya begitu tertantang: nulis novel. Di situ ia mencurahkan semua ketidakpuasannya akan kehidupannya lewat seorang tokoh fiktif bernama Sabrina yang, nggak seperti dirinya, berhasil mendapatkan semua yang diimpikan, termasuk kucing peliharaan.

Impian Moira dituturkan dengan gaya yang emang sangat mirip diary plus. Dibilang plus karena ada tambahan-tambahan dialognya. Dari awal hingga akhir, Dewie Sekar membuat kita tenggelam dalam dunia pemikiran Moira dan nggak bermain dengan plot, adegan, cliffhanger, serta dialog macam yang ada dalam novel-novel lain.

Karena kita bener-bener kayak sedang membaca sebuah diary, maka kita juga sungguh-sungguh mengetahui apa yang ada di benak seorang Moira. Kita tahu kesenangannya, ketakutan-ketakutannya, alasan mengapa ia menggembosi ban mobil Leo, soal Kintan Jilid 2, cinta dan sekaligus bencinya pada Papa, serta perasaan inferiornya pada kehidupannya sendiri yang menurutnya amat nggak sempurna hanya karena “nggak kayak kehidupan orang lain” sehingga ia merasa perlu menjelma jadi Kintan Jilid 2 itu tadi.

Pendekatan yang seperti ini membuat Impian Moira terasa amat dekat dan menyentuh karena apa yang ada di benak Moira adalah juga apa yang ada di kepala para remaja sehari-hari. Wajar kalo Moira sebal pada kehidupannya sendiri, sebab jangankan kehilangan ortu yang selingkuh, sekadar didatangi sebiji jerawat nakal aja udah bisa bikin remaja blingsatan dan lebih memilih untuk memanggil makanan cepat saji lewat delivery order daripada nekat keluar rumah. Sayang ada satu elemen penting yang kurang maksimal tereksploitasi. Impian Moira berangkat dengan premis yang amat menjanjikan, yaitu soal Moira yang memasuki kehidupan barunya di Jakarta dengan berpura-pura menjadi orang lain karena merasa dirinya yang asli sangat nggak “menjual” bagi anak-anak metropolitan. Ia pun menjadi Kintan Jilid 2 dan sandiwaranya demikian sempurna sampai-sampai Andrea menjulukinya Si Anak Asyik, padahal deep down inside, ia sendiri mengakui dirinya sama sekali nggak asyik.

Pada bagian lanjutan, kita berharap unsur ini punya daya kejut komedik yang luar biasa menarik pada reaksi teman-teman Moira, terutama Andrea, ketika mereka tahu watak dan tabiat asli Moira yang sesungguhnya. Tapi bukannya mendaki ke titik ini, Dewie justru membelokkan cerita ke melodrama beraroma plot hole soal kesalahpahaman mereka saat Chika menyaksikan Moira jalan-jalan akrab dengan seorang pria setengah baya di mal.

Plot hole pada bagian ini sangat kerasa karena cukup dengan satu kalimat sanggahan dari Moira yang berbunyi semacam “Ya ampun, itu ayahku!”, semua kesalahpahaman akan langsung dapat diurai hanya dalam tempo tak sampai 15 detik. Dan semua manusia normal di dunia nyata, tak peduli dia secuek bebek atau seedan apapun, pasti akan langsung membantah dan menyanggah dengan keras jika dia udah dikait-kaitkan dengan isu sesensitif yang dialamatkan ke Moira—kecuali kalo emang dia berprofesi demikian!

Selain itu ada beberapa bagian dialog yang nampak jelas terlalu kuyup dipengaruhi film-film Hollywood. Kalimat seperti “Kamu kira apa yang udah kamu lakukan?” atau “Kukira kita berteman!” (dua-duanya di halaman 175) jelas adalah terjemahan langsung dari “What do you think you’re doing!?” dan “I thought we were friends!” yang sering muncul dari mulut entah Ashton Kutcher, Lindsay Lohan, Hilary Duff, atau Josh Hartnett dan hampir nggak mungkin kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari saat ikut rapat Karang Taruna, saat menawar harga cabe di pasar, atau saat ngobrol di kantin sekolah.

But, overall, it’s a good and heartwarming story (nah, nah, mulai terpengaruh Hollywood juga!). Impian Moira membawa kita pada satu titik kesadaran baru bahwa hidup emang nggak sempurna. Yang membuatnya sempurna adalah bagaimana cara kita menjalaninya sehingga at least diri kita bisa berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain…


Sinopsis Cover Belakang

Sejak memergoki ayahnya punya istri simpanan dan ibunya memilih bercerai, Moira merasa seluruh dunia memusuhinya. Akibatnya, Moira memutuskan balik memusuhi seisi dunia, kecuali cokelat batangan. Gara-gara ulahnya itu, Moira sempat dikenal sebagai gadis paling badung di sekolahnya. Tapi, saat pindah dari Yogya ke Jakarta, Moira bertekad memperbaiki diri dan memulai lembaran baru. Siapa sangka di sekolah barunya ini, dia justru ketemu lagi dengan Leo, cinta pertamanya yang nggak kesampaian di Yogya dulu. Moira bete berat! Terlebih lagi ketika Leo mengatainya... "gemuk"!Masalah Moira tambah parah saat ia dikucilkan gara-gara kesalahpahaman. Untungnya, Surya---Dewa Matahari bohongan alias si ketua kelas---selalu percaya bahwa Moira tak pernah melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan banyak orang. Persahabatan Moira dengan Surya membuat gadis itu merasa lebih kuat, sampai suatu saat salah satu impian besar Moira tercapai, dan Surya justru menjauh darinya. Ada apa dengan Surya? Apakah ini karena Leo, yang belakangan akhirnya jatuh hati juga pada Moira? Apakah Moira masih menyimpan rasa sayangnya terhadap Leo?


PENULIS
DEWIE SEKAR
Dewie Sekar Hoedion lahir tanggal 23 Maret alias 15 Suro di kaki Gunung Sindoro-Sumbing, saat purnama melayari angkasa dan kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya (sayangnya nggak pakai soundtrack lolongan serigala segala). Gemar membaca buku apa saja (termasuk buku-buku yang membuatnya puyeng dan/atau tak dipercayainya sepatah kata pun) dan jadi termotivasi untuk menulis karenanya. Beberapa cerpennya dimuat di Anita, Ceria, Nova, Femina, dan Chic.

Perempuan yang merasa selalu gagal membuat kerangka-karangan-dan-berusaha-tabah-mematuhinya ini, kini tinggal di Jakarta bersama suami, dua putri, dan segunung mimpi yang sedang diusahakannya agar bisa jadi kenyataan. Prinsip hidupnya: tak ada yang dinamakan "kebetulan" di dunia ini. Menurutnya, segala yang pernah dan akan terjadi di alam semesta pastilah sudah direncanakan dengan mahabijak olehNya, bahkan sampai ke detail terkecil, misalnya tetesan embun yang jatuh dari ujung daun.


Copyright Sweety Qliquers
www.resensinovel-lovers86.blogspot.com