BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 07 Agustus 2010

Tanah Warisan (Jilid 2)


Orang berkumis lebat itu turun di sebuah halaman yang bersih dari sebuah rumah yang bagus. Beberapa orang kawannya pun turun pula sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.

“Jangan sembunyi,” teriaknya.

Tetapi pintu rumah itu masih tertutup rapat.

“Buka pintunya,” ia berteriak lagi. “Kalau tidak, aku bakar rumah ini. Cepat.”

Perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Seorang laki-laki tua menjengukkan kepalanya dengan tangan gemetar. “Ha, kau ada di rumah. Jangan mencoba bersembunyi ya?”

“Tidak,” jawabnya dengan suara yang bergetar aku tidak bersembunyi.”

“Tetapi kau tidak mau membuka pintu rumah ini.”

“Aku berada dibelakang.”

“Jangan banyak bicara. Sekarang serahkan permintaanku sebulan yang lalu.”

Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar.

“Ayo jangan banyak tingkah.”

“Tetapi, tetapi,” suaranya tergagap. “Aku sudah menyerahkan pajak itu kepada Ki Demang yang akan membawanya ke Pajang bersama upeti yang lain.”

“Aku tidak bertanya tentang upeti. Kau jangan mengigau lagi tentang Pajang, Demak atau kerajaan iblis sekalipun. Dengar. Sekarang sengketa antara Pajang dan Mataram menjadi semakin tajam. Kedua pasukan berhadapan di daerah Prambanan. Mereka tidak akan sempat mengurus pajak dan upeti. Karena itu, maka tugas mereka itu pun telah kami ambil alih. Kalian tidak usah menyerahkan apapun lagi kepada Ki Demang, sebab ia tidak akan menyerahkannya kepada Sultan Hadiwijaya yang sedang sibuk berkelahi melawan puteranya sendiri itu. Yang berperang biarlah berperang. Aku ingin melakukan tugas-tugas yang lain. Misalnya memungut pajak.”

Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Kini orang berkumis itu telah berdiri didepannya. Ketika sekali tangannya disentakkan kemuka, orang tua itu terpelanting keluar.

“Berlakulah agak sopan sedikit menerima tamu,” berkata orang berkumis itu.

Tertatih-tatih orang tua itu mencoba berdiri. Kemudian katanya, “Tetapi, tetapi, semuanya telah terlanjur aku serahkan kepada Ki Demang.”

Namun belum selesai ia berkata, tangan orang berkumis itu telah menarik leher bajunya.

“Apa kau bilang? Bukankah sebulan yang lalu aku telah berkata kepadamu, bahwa kau harus menyerahkannya kepadaku, kepada kami? Kepada Panembahan Sekar Jagat?”

“Tetapi, tetapi....... suaranya terputus ketika sebuah pukulan menyentuh pipinya yang telah berkerut. “Ampun, ampun,” teriaknya sambil tertatih-tatih. Sejenak kemudian laki-laki tua itu terbanting jatuh terlentang.

“Berikan kepadaku seperti permintaanku. Kalau tidak, maka aku mengambilnya sendiri ke dalam rumahmu. Ingat, aku adalah Wanda Geni, utusan terpercaya Panembahan Sekar Jagat mengerti?”

Orang tua itu kini telah mengigil. Matanya dibayangi oleh perasaan takut tiada terhingga.

“Cepat,” teriak orang yang menamakan dirinya Wanda Geni.

“Tetapi..........,” sekali lagi suaranya terpotong. Kini bukan saja ujung parang orang berkumis itu telah menyentuh dadanya. “Apakah kau masih akan berkeberatan.”

Orang tua itu tidak dapat ingkar lagi. Kepalanya kemudian tertunduk lesu. Dengan suara gemetar ia menjawab. “Baiklah, aku akan menyerahkan apa yang masih ada padaku.”

“Bagus. Cepat. Aku masih banyak pekerjaan. Hari ini aku harus memasuki sepuluh pintu rumah.”

Orang tua yang malang itu kemudian menyeret kakinya yang lemah masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Wanda Geni. Beberapa orang kawannya tersebar dihalaman dengan senjata masing-masing siap ditangan mereka. Betapa pun beratnya, orang tua itu terpaksa menyerahkan sebuah pendok emas yang selama ini disimpannya baik-baik. Tetapi ia masih lebih sayang kepada umurnya yang tinggal sedikit daripada kepada pendok emas itu.

“Ini adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga,” berkata orang tua itu.

Wanda Geni tertawa. Suaranya berkepanjangan seolah-olah menelusur atas. Katanya, “Kau sangka aku dapat mempercayaimu? Kau sangka aku tidak tahu bahwa kau menyimpan pula pendok emas yang lain, yang justru kau tretes dengan intan dan berlian. Kemudian sebuah timang emas bermata berlian pula? Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau telah berhasil memeras orang-orang melarat disekitar ini dengan segala macam cara? Huh, jangan mencoba membohongi aku. Kau tahu, bahwa orang-orangku sebagian adalah orang-orang Kademangan ini. Orang-orang yang mengerti betul, apa yang tersimpan disetiap rumah disini.”

Laki-laki itu tidak menjawab. Ia merasa, bahwa lebih baik diam daripada membuat Wanda Geni itu marah.

“Baiklah,” berkata Wanda Geni kemudian. “Aku akan minta diri. Kali ini aku sudah cukup dengan pendok emas ini.”

Tanah Warisan (Jilid 1)


AWAN yang kelabu mengalir dihanyutkan oleh angin yang kencang ke Utara. Segumpal bayangan yang kabur melintas di atas sebuah halaman rumah yang besar. Kemudian kembali sinar matahari memancar seolah-olah menghanguskan tanaman yang liar di atas halaman yang luas itu.

Seorang perempuan tua berjalan tertatih menuruni tangga pendapa rumahnya. Kemudian memungut beberapa batang kayu yang dijemurnya di halaman. Sekali-kali ia menggeliat sambil menekan punggungnya.

Dengan telapak tangannya yang kisut dihapusnya keringat yang menitik di keningnya.

"Hem," perempuan itu berdesah.

"Kalau saja mereka masih ada di rumah ini." perempuan itu kini berdiri tegak. Ditengadahkan wajahnya kelangit, dan dilihatnya matahari yang telah melampaui di atas kepalanya.

Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Keningnya berkerut ketika dilihatnya halaman rumahnya yang menjadi liar karena tidak terpelihara. Rumah besar yang kotor dan rusak. Kandang yang kosong dan lumbung yang hampir roboh.

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia membungkukkan punggungnya, memungut beberapa batang kayu bakar yang dijemurnya di halaman. Ketika perempuan itu melihat seseorang berjalan di lorong depan regol halamannya, maka ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Tetapi orang itu memalingkan wajahnya, dan berjalan semakin cepat.

"Hem," sekali lagi perempuan tua itu berdesah. Di pandanginya orang itu sampai hilang dibalik dinding halaman rumah sebelah. Sejenak kemudian dengan langkah yang berat perempuan itu melangkah masuk ke rumahnya yang kotor dan rusak, langsung pergi ke dapur.

Perlahan-lahan ia berjongkok di depan perapian. Sebuah belanga berisi air terpanggang di atas api. Satu-satu dimasukannya batang-batang kayu bakar yang kering ke dalam lidah api yang menjilat-jilat. "Kalau anak-anak itu ada di rumah," sekali lagi ia berdesah. Seleret kenangan meloncat ke masa lampaunya. Kepada anak-anaknya. Dua orang anak laki-laki. Tetapi keduanya tidak ada disampingnya. Tetapi perempuan tua itu mencoba menerima nasibnya dengan tabah. Kesulitan demi kesulitan, penderitaan demi penderitaan lahir dan batin telah dilampauinya. Namun seolah-olah seperti sumber air yang tidak kering-keringnya. Terus menerus datang silih berganti.

"Hukuman yang tidak ada habisnya," desahnya. Namun kemudian ia mencoba menempatkan dirinya untuk menerima segalanya dengan ikhlas.

"Semua adalah akibat dari kesalahanku sendiri."

Perempuan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar langkah beberapa orang berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Perlahan-lahan ia berdesis. "Apakah mereka datang lagi?"

Ia bangkit berdiri ketika langkah-langkah itu semakin banyak berderap di jalan dimuka regol halaman bahkan ada di antaranya yang meloncat memotong melintasi halaman rumahnya.

"Tidak ada gunanya mereka berlari-lari," gumam perempuan tua itu sambil melangkah ke pintu. Ketika kepalanya menjenguk keluar, dilihatnya beberapa orang yang terakhir melintas di bawah pohon-pohon liar dihalaman rumahnya. Sejenak kemudian perempuan tua itu mendengar derap beberapa ekor kuda mendatang. Semakin lama semakin dekat.

"Mereka benar-benar datang," desisnya. Dan perempuan itu benar-benar melihat orang berkuda melintas cepat di jalan di muka rumahnya. Cepat-cepat perempuan tua itu menutup pintu rumahnya. Sambil menahan nafasnya ia bergumam.

"Apalagi yang akan mereka lakukan di kademangan ini?" Dan ia tidak berani membayangkan, apa saja yang telah dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.

Sementara itu, orang-orang berkuda itupun telah memasuki beberapa buah rumah sambil berteriak-teriak kasar. Seorang yang berkumis lebat dengan sebuah parang di tangan berteriak-teriak.

"Ayo serahkan permintaanku sebulan yang lalu."